Erika
April 20, 2015
Hujan rintik-rintik,
ruangan ini jadi makin dingin.
Di sebelah jendela,
meja nomor sebelas. Pria ber-syal beige itu
masih tak beranjak. Sudah empat jam Ia
di sana, menatap jendela. Entah siapa
yang ditunggunya. Cangkir kopi itu pun sama sekali tak disentuhnya.
Apa yang ditunggu?
Tidakkah Ia lelah?
Ini bukan pertama
kalinya aku memperhatikan pria itu. Sudah setengah tahun aku mengamati
kebiasannya yang misterius. Hari Rabu, selalu pada hari Rabu. Pria itu selalu
saja duduk di sebelah jendela, mengenakan syal berwarna beige, memesan kopi
hitam -- tak akan pernah disentuhnya sebelum pramusaji mengantarkan bill
dan menutup kedai kopi ini. Selalu seperti itu. Tak pernah kulihat ia
bersama setidaknya seorang teman, mengutak-atik ponsel, ataupun membaca buku
seperti pengunjung yang lainnya. Ia tak melakukan apapun selain duduk di sana
dan menatap jendela.
Pintu terbuka,
lonceng yang tergantung di pintu menyambutnya.
Nah.. Itu dia datang..
Perempuan itu
akhirnya datang. Aku, bahkan seisi kedai kopi ini selalu menunggu
kedatangannya. Parasnya yang cantik, rambutnya yang panjang serta raut wajah
yang ceria selalu mencuri perhatian seisi kedai ini. Kecuali pria ber-syal beige tadi, ia tampak tak peduli.
Perempuan itu,
Erika. Ia selalu datang tiap hari Rabu. Ia datang untuk bekerja. Setiap Rabu
siang ia datang dan duduk di meja nomor empat, memesan espresso sambil menunggu
"sahabat"nya datang.
"Mbak, Espresso
satu ya"
Seorang pramusaji
yang kelewat penasaran pernah bertanya tentang pekerjaan yang dilakukannya di
kedai ini. Alih-alih marah atau merasa terganggu, Erika dengan lembut menjawab
"Aku Cuma seorang pendengar."
Ya, Erika seorang
pendengar. Pekerjaannya adalah mendengarkan. Ia mendengarkan keluh kesah,
memberi solusi, serta memberi dukungan moral pada setiap orang yang biasa ia
sebut "sahabat." Bukan sahabat betulan, tentunya. Para
"sahabat" biasanya bercerita hanya lewat surel Erika saja. Tapi
beberapa orang rela membayar untuk konseling
secara langsung dengannya.
Erika cukup populer
di dunia maya, beberapa "sahabat"nya pernah menyinggung ini.
Maka di sinilah
Erika, menjemput keluh kesah dan tentu saja, rejekinya.
Erika selalu
bahagia. Ia punya banyak "sahabat" dan tak pernah sendirian di kedai
ini. Bila satu "sahabat"
datang dengan muka sedih, maka dipastikan ia akan pulang dengan ceria. Begitu
seterusnya sampai daftar "sahabat" hari itu habis. Biasanya sejam
sebelum kedai ini tutup, Erika sudah selesai bekerja. Lalu ia memesan makan malam dan pulang
setelahnya.
Erika adalah
perempuan yang sangat bahagia.
***
Saat itu hari Minggu
pagi. Pertama kalinya dalam sejarah, Erika datang ke kedai ini selain hari
Rabu. Untuk yang pertama kalinya juga, Ia memesan kopi hitam. Erika sedang
menunggu seseorang. Tapi tak sampai sejam, ia pergi lagi.
Beberapa waktu
kemudian lonceng pintu kedai bergemerincing, pria ber-syal beige itu datang. Ini pertama kalinya juga ia
datang selain hari Rabu. Ia memesan kopi hitam seperti biasa. Dan.. Ia meminum
kopinya sesaat setelah disajikan. Aku bisa mendengar beberapa pramusaji
membahas keanehan yang mereka lihat hari ini.
Lonceng
di pintu bergemerincing lagi.. Lihat siapa yang datang..
Erika.
Ia
tak pergi ke meja nomor empat.. Ia menuju..
Meja nomor sebelas.
Pramusaji di
belakang memekik kaget.
***
"Kalau aku jadi
kopi di cangkirmu itu, maka aku akan memilih menyeruput diriku sendiri
ketimbang harus dingin dan sia-sia seperti itu. " Erika memulai
pembicaraan dengan amat tidak santai.
"Kalau saya
jadi kamu, maka saya akan menikmati hari libur dengan sungguh-sungguh dan tak
akan berani mencampuri urusan orang lain." Jawab pria itu ketus.
Lalu mereka diam
beberapa saat.
"Apa yang kau
lakukan di sini?" Erika berusaha membuka obrolan.
"Bukan
urusanmu. Tidakkah seharusnya kau memasang wajah ceriamu di meja nomor empat?
Apa pedulimu tentang apa saja yang saya lakukan di sini?"
"Sekarang bukan
hari Rabu. Aku sedang libur dan aku tak punya kawan untuk menikmati hari
libur."
"Persetan.
Pergilah, kau mulai mengganggu."
"Aku tak punya
siapa-siapa selain kau."
"Maaf, tapi
kita tak saling kenal." Pria itu menyeruput kopinya lalu kembali menatap
jendela. Erika hanya menunduk. Entah apa yang dipikirkan kedua manusia itu.
Di luar jendela,
pohon di luar kedai bergoyang lembut.
Satu-persatu daun kecokelatan terlenakan angin, lalu gugur dengan anggunnya.
Seorang pramusaji mengelap meja di beranda kedai. Seorang lagi sibuk melayani
pengunjung yang sepertinya sedang merayakan ulang tahun. Di parkiran depan,
tepat di bawah pohon tadi, tukang sapu bersenandung kecil sambil menyapu jasad
daun yang bertebaran dimana-mana. Kedai kopi di bawah naungan pohon besar ini,
hampir semua orang terlihat menikmati hari minggunya.
Hampir..
Erika masih
menunduk. Jangan tanya apa yang sedang dilakukan pria ber-syal beige itu. Erika menarik pita dari balik
rambut panjangnya, sesuatu terlepas dari wajahnya. Sebuah topeng.
"Edgar, ini
aku.." Edgar, pria ketus itu rupanya punya nama.
"Edgar,
Edgar.." Erika memanggilnya lagi, lirih.. Pria itu tetap tak
bergeming.
"Edgar, kenapa
kau jadi seperti ini?" Ia masih membatu.
"Kenapa,
Edgar?" Erika menangis.
Edgar menoleh,ia
memandangi perempuan di hadapannya. Wajah yang amat berbeda dari yang biasa ia
lihat tiap Rabu. Wajah yang penuh ketakutan, wajah yang begitu murung, wajah
asli Erika.
Edgar kembali
berpaling pada jendela.
Matanya juga basah.
"Erika.. Aku menunggu Erika. Erika-ku. "
"Aku di sini,
Edgar. Aku di sini.. Aku menyayangimu Edgar."
"Bukan. Kau
cuma boneka. Nikmati saja sandiwaramu, teruslah bertopeng." Edgar beranjak
dari mejanya, Erika mencegahnya.
"Kau
menyedihkan,Erika. Kau menyedihkan."
"Aku juga lelah
bersandiwara."
"Kau punya hak
untuk bahagia, Erika. Kau punya kuasa atas dirimu sendiri."
"Aku lelah,
Edgar. Amat lelah."
Edgar memeluk Erika,
erat. "Erika, Erika-ku sayang. Adikku yang malang, boneka Ayah-Ibu,
Erika.." Edgar menangis.
"Pulanglah
Edgar, Ibu meninggal dunia tadi pagi. Aku tak punya siapapun selain kau
sekarang."
"Mana suami-si
menantu pilihan Ibu?"
"Ia di kantor
polisi. Ia membunuh Ibu." Erika tersenyum, getir.
"Jangan pergi lagi, Edgar. Hanya kau yang aku punya."
"Kita tak usah pulang ke rumah. Atau Ayah akan membuatmu jadi boneka lagi."
"Aku menyayangimu, Edgar."
"Aku menyayangimu, Erika.."
***
Erika, perempuan penghibur yang sehari-harinya "dijual" oleh orangtua dan suaminya. Yang berusaha mencari kebahagiaan dengan menjadi "pendengar" tiap hari Rabu siang.
Edgar, kembaran Erika yang berhasil bebas dari "pembonekaan" orangtuanya tapi tak bisa ikut membebaskan Erika, berusaha mengawasinya dari kejauhan.
Para pramusaji menginap sampai pagi hanya untuk membicarakan drama saudara kembar itu. Salah satu dari sekian juta drama yang diciptakan Tuhan untuk dikaji ulang oleh para figurannya. Tuhan maha kuasa.
Aku hanya satu dari
13 meja kayu mahoni di kedai kopi ini. Seperti Erika.. Aku juga berusaha bahagia.
Apakah Rabu selanjutnya mereka datang lagi?
Tidak.
Semoga mereka semua berbahagia.
Selamat bulan April!
This is
just a story, a story of a beautiful memories
This is
just a story, a story of a beautiful lady
You treat
me like a baby, since the first time when you found me
You
whispering me softly a tale of turtle and the monkey
You are
just too good for me,
But you are
not so good for yourself
Erika you
are the one who will always be mine
Erika you
are the one who will always be in my heart
Erika is
never to fall, because she always hold her tightly
Erika is
just a doll, and she’s just a beautiful memory
You are
just too good for me,
But you are
not so good for yourself
Erika you
are the one who will always be mine
Erika you
are the one who will always be in my heart
Erika my
love
Erika you
are the one who will always be mine
Erika you
are the one who will always be in my heart..
(Erika - Tigapagi)
0 comments