Yang Terjadi Saat Aku Menyerahkan Diri Pada Kafein
May 13, 2015
Aku tidak punya ide.
Aku tidak ingin
menulis apapun.
Aku tidak ingin
menulis.
Aku sedang gusar
padamu. Dan sedang tidak berselera untuk melakukan apapun.
Tidakkah kau tahu
aku sangat menunggu datangnya hari itu? Hari yang sudah kita rencanakan
jauh-jauh hari.
Dan kau lupa begitu saja.
"Maaf
nona, aku tak ingat."
Baiklah, (semoga)
aku tak ambil pusing soal itu. Yang jadi perkara adalah, aku sudah ada di sini,
tempat yang kita sepakati sebelumnya.
Tidak tahukah kau? Untuk sampai di sini aku harus menggadaikan mimpiku yang lain
untuk mengantri tiket kereta hampir seharian, berhimpitan dalam peti besi
berjalan ini dengan pedagang mimpi,
pengamen, pencopet, aktivis HAM yang berapi-api dan juga beberapa ibu hamil
yang lelah berdiri. Dan ketika sampai stasiun aku harus turun dari kereta
dengan tidak manusiawi.
Aku berusaha
mengenyahkan kegusaranku dan mencoba tenggelam dalam kisah Midah, Simanis Bergigi Emas-nya Pramoedya Ananta Tour. Tidak,
ini terlalu susah. Pikiranku tak mau tenang, sibuk melayang. Kuarahkan
pandangan ke sekeliling ruangan. Mataku terpaku pada globe, bola kecil tiruan bumi yang tangkainya membungkuk di atas
meja. Aku memutarnya, bola itu berhenti ketika kusentuh permukaannya. New Zealand. Andai aku sebebas jemari. Tunjuk,
tahu-tahu berhenti di Italia. Putar-tunjuk-Inggris, putar-tunjuk-Amerika,
putar-tunjuk-Jepang, putar-tunjuk-Papua, putar-tunjuk-Sumatera.
Sayangnya jemariku
tak berhenti di jemarimu.
Oh, aku sungguh
ingin ke Italia.
Okay.
Sudah cukup
pemanasannya. Kau senang sekarang?
Kau nona yang tak
pernah cemas meski gemar memuntahkan ribuan lembar puisi dari rongga kepala.
Sementara yang lain mengepulkan asap cemas akan kehabisan bara dan kedinginan.
Sebab kau laci kerja yang tak pernah kehabisan sajak dari tuanmu yang penyair.
Sebab kau tungku perapian pada malam yang gelap dan gigil, tempat tuanmu
melebur rindunya jadi jingga keemasan hingga Savitri bangkit dari
pembaringannya.
Kau nona yang rakus
akan waktu. Tak pernah takut gemuk. Sebab kau tak suka jadi kurus dan tak lagi
enak dipeluk. Kadang kau melumat waktu sebentar
atau langsung menelannya bulat-bulat. Kau lupa bahwa waktu tak abadi, pun pelukan.
Bisa jadi yang kau lumat tadi adalah waktumu yang terakhir. Sayang waktu tak
bisa disuap, ia lebih suka jadi aktivis Departemen Ketuhanan.
Tuanmu habis melebur
dengan Savitri--kini jadi abu. Dan kau jadi suka menghisap rokok.
Hisap-hembuskan.. Hisap-hembuskan.. Bibirmu menghitam, dan kepalamu tak lagi
memuntahkan sajak. Yang keluar hanya asap yang membuat kamarmu makin berjelaga.
Kau kedinginan dan juga kecemasan, nampak di lingkar matamu yang kendur dan
gelap. Sebab waktumu telah habis dan rindu tak juga mau mati.
Di balik jendela
rindu tertawa terbahak-bahak, nyaris tersedak. "Mampus kau!"
Sementara di balik
punggung rindu, tanpa sepengetahuannya, malaikat maut hendak menjalankan
tugasnya.
***
Semalam saja
Lalu ku biarkan
Engkau menyelinap
Pergi jauh
Karena ku tak ingin
Apa-apa
Dan tak dimiliki
Siapa-siapa
Semalam saja
Tak mau sendiri
Ucapkan kata
Selamat pagi..
- Agustin Oendari, Selamat Pagi, Malam.
Selamat dini hari..
0 comments