Mencari Garam

July 01, 2020


Masih pukul delapan pagi tapi matahari agaknya tak sabar unjuk gigi. Begitu pun kamu, mulai tak sabar mencari teduh. Kakimu tersandung batu karang dan lututmu nyeri karena jarang olahraga.
Kamu akhirnya menemukan tempat berteduh, gua karang yang dekat dengan bibir pantai. Entah memang dekat, atau air laut masih pasang.  Pasir masih agak basah tapi tetap saja kamu merebahkan diri. Dia masih berdiri di ujung tangga. Tatapannya jauh, tertuju pada peselancar yang jatuh bangun dijahili ombak.

"Lo naksir abang itu? Ketaker." Guraumu.
"Anjrit, pacar gue masih cewe kali. Itu seru banget kayanya naik turun ombak."
"Seru dari Hongkong? Mending rebahan."
"Mental pemalas emang."
"Mulut lo tuh malas, ngomong ga disaring!"
"Sebodo!"

Dia duduk di sebelahmu, ikut berteduh. 

"Yan, gue jadi mikir. Menurut lo kemalasan dan kemiskinan itu beriringan gak?"
"Hmm.. Menurut gue sih iya. Gimana mau kaya, kalo malas? Gak mau gerak, gak mau mikir, gak mau inisiatif untuk perubahan, menunda-nunda waktu. Man, kemalasan itu membunuh peluang!"
"Kalo malas tapi smart?" Sanggahnya.
"Gak ada yang kaya gitu, orang pintar itu gak malas, otaknya diputer buat cari peluang."
"Masuk akal sih. Jujur aja gue takut miskin,Yan. Nanti kalo gue punya anak gimana..."
"Ya makanya diusahakan jangan miskin. Lagian emang lo bisa miskin? Lo buka lapak sekali juga kaya lagi lo."
"Paling bisa deh lo hahahahaha"
"Ya udah sih."
"Balik deh, yuk"

Dia tetap berjalan, sesekali menengok ke belakang, berjaga-jaga agar kamu tak hilang diculik ibu tukang pijat yang nyambi sebagai pedagang minuman. Dia sudah hampir sampai dan kamu masih 8 anak tangga di belakangnya. Langkahmu melambat, pikiranmu melayang. 

"Lelet amat nyonya?!" Dia berbalik, gemas karena kamu tak kunjung sampai.
"Cape gue"
"Dih.."
"Hipokrit ga sih gue? Cape, cape gue menggarami hidup orang lain."




You Might Also Like

1 comments

Popular Posts