Naif
January 21, 2015
Perempuan itu
menyimpan rapat rasa takutnya. Berdesakan dengan masa lalu dan semua kepahitan,
dalam satu bilik di hatinya. Hanya ia dan lelaki itu saja yang tahu letak
pintunya. Mereka menguncinya bersama dan sepakat saling membahagiakan.
Mereka menertawakan
langit, menghitung bintang yang samar-samar terlihat, menangisi tanggal yang
tak kunjung merah, menghitung rindu, dan melukis pelangi. Mereka suka melukis
pelangi di kening satu sama lain, karena tak mudah melukis pelangi pada kening sendiri.
Pelangi yang dilukis
pada kening perempuan itu jauh lebih indah. Tak ada yang menandingi lukisan
lelaki itu.
Tapi tak jarang di
kening lelaki itu justru terlukis mendung. Samar. Tapi selalu ia tutupi dengan
lukisan pelangi buatannya sendiri. Perempuan itu tak pernah tahu.
Lelaki itu
mencintainya. Diberinya perempuan itu kebebasan karena ia mencintai kebebasan,
dimana menurutnya keterikatan bukanlah hal yang menyenangkan. Dia suka cinta
yang membebaskan, kata lelaki itu membelanya. Dibuangnya jauh-jauh kekhawatiran
yang mengusiknya. Dibiarkannya perempuan itu berlari dan membawa hatinya.
Satu-satunya hati yang ia punya. Sementara ia mengawasi dari jauh.
Perempuan itu tak
suka diawasi. Ia ingin kebebasan yang membiarkannya pergi kemanapun ia mau.
Lelaki itu menurutinya, walau ia tahu lukisan pelangi di kening perempuan itu
memudar. Sekali lagi, ia menaruh percaya dan berjudi dengan rasa takutnya
sendiri.
Hari itu, tanggal
tiga belas bulan satu.
Perempuan itu sudah
jatuh hati pada lelaki pilihannya. Lelaki yang membelikannya toples pelangi
dari toko souvenir di kanan jalan. Ia tersenyum pada lelaki pilihannya,
dibukanya toples itu, dan menaruh sesuatu di dalamnya. Sebuah hati. Perempuan
itu berjalan menenteng toples itu, dengan lelaki pilihannya dan menghapus
sisa-sisa pelangi di keningnya. Jauh di ujung jalan sana, lelaki pelukis
pelangi itu tak pernah tahu.
Lelaki itu masih menaruh percaya pada perempuan itu, mempercayakan hatinya tanpa pernah tahu bahwa ia telah kalah berjudi. Berkali-kali pelangi itu nyaris luntur. Berkali-kali pula ia melukis sendiri pelangi di keningnya. Lelaki itu hampir mati. Sementara perempuan itu berjalan makin jauh dengan lelaki pilihannya. Hati lelaki pelukis pelangi itu tertawan dalam toples pelangi.
Lelaki itu tak
pernah tahu…
***
Lelaki pelukis
pelangi itu duduk di meja nomor empat, ia menyapaku. Di keningnya masih ada
pelangi yang tampak dibuat-buat.
Mengetahui kisahnya
membuatku tak enak hati. Tapi aku memilih diam.
0 comments