Pindah Pahit
August 09, 2014
Pereda nyeri paling
manjur; kopi, cokelat murni, dan acetaminophen.
Di atas lidah sama
saja. Ketika pergi menjejakkan pahit.
Lebih dari satu purnama tak mengecap ketiganya. Membuatku lupa mereka punya pahit yang menggulung lidah sampai kerongkongan.
Lebih dari satu purnama tak mengecap ketiganya. Membuatku lupa mereka punya pahit yang menggulung lidah sampai kerongkongan.
Aku lupa
rasanya nyeri.
Lebaran. Kembali ke
fitrah.
Sewa rumah sudah
jatuh tempo. Aku masih betah. Ibu sibuk di dapur dan aku belum juga berkemas.
Malas, aku duduk-duduk di beranda. Menonton kuli angkut barang mengosongkan
kamar. Tiba-tiba teringat kawanku yang
berisik minta rumahnya disinggahi. Maaf, aku sedang sibuk, kawan. Sibuk
berdamai dengan isi kepala.
Rumah lama yang
didandani. Aku berbenah didalamnya.
Mengenang kenakalan yang membuat ibu kurus
kering. Merapikan semuanya, lalu kusimpan agar tak lagi dirindu. Aku berlari ke
dapur. Ada yang tak boleh dilihat Ibu.
Kulkas. Lemari
pendingin yang lebih tua dua tahun dariku.
Ibu mengelap
pintunya, yang pernah aku gelantungi. Lalu
memasang rak telur yang pernah kupatahkan bagian tengahnya. Aku selalu termaafkan. Di
atas kulkas, kejutan memanggilku.
Pot kecil dari
kertas. Hadiah darimu. Ibu sudah melihatnya.
"Hadiah dari
Cannelle?" Lalu Ibu tertawa kecil. "Rupanya kenangannya masih tersisa
disini" lanjutnya. Aku mengiyakan saja, lalu bergegas ke kamar. Berusaha
menenangkan topan-topan kecil di rongga dada yang datang lagi karena mantera yang diucap
Ibu. Namamu.
Aku mengunyah
sebutir acetaminophen, lalu pergi tidur. Memimpikan pahitnya dan
meninabobokan nyeri di ulu hati.
Ragaku pindah, jiwaku masih betah.
Lebaran 2014
0 comments