Aku memimpikan seorang yang tak kukenal.
Lalu aku terbangun dan jatuh cinta seharian.
Sesederhana itu.
Mengingat seperti apa rupanya, wangi tubuhnya, baju yang ia pakai dan senyumnya yang.. sederhana.
Esoknya aku tak bermimpi apa-apa. Padahal aku setengah mati berharap.
Aku tak lagi ingat seperti apa rupanya. Juga tak ingat wangi tubuhnya.
Tapi aku ingat seperti apa baju dan senyumnya yang sederhana. Semua tampak sama, berwarna biru dan sederhana.
Aku malah ingat saat pertama kali bertemu kau. Kau memakai baju biru muda. Tahukah kau, saat ini aku duduk di meja nomor delapan. Meja yang kita tempati pertama kali. Dan juga yang terakhir kali, sebelum kau pergi ke pulau seberang. Eh, tapi yang paling terakhir kita tempati bukankah kursi-bangku-taman-beton yang membuat punggungku memar, bukan? Ah, iya betul. Saat itu pertama kalinya aku membelai kepalamu. Mungkin yang terakhir?
Tentang kau, aku pengingat yang hebat.
Kenapa jadi bercerita tentang kau lagi, sih?
Senja tadi bilang apa ya?
Esoknya aku tak bermimpi apa-apa. Padahal aku setengah mati berharap.
Aku tak lagi ingat seperti apa rupanya. Juga tak ingat wangi tubuhnya.
Tapi aku ingat seperti apa baju dan senyumnya yang sederhana. Semua tampak sama, berwarna biru dan sederhana.
Aku malah ingat saat pertama kali bertemu kau. Kau memakai baju biru muda. Tahukah kau, saat ini aku duduk di meja nomor delapan. Meja yang kita tempati pertama kali. Dan juga yang terakhir kali, sebelum kau pergi ke pulau seberang. Eh, tapi yang paling terakhir kita tempati bukankah kursi-bangku-taman-beton yang membuat punggungku memar, bukan? Ah, iya betul. Saat itu pertama kalinya aku membelai kepalamu. Mungkin yang terakhir?
Tentang kau, aku pengingat yang hebat.
Kenapa jadi bercerita tentang kau lagi, sih?
Senja tadi bilang apa ya?
Mereka datang karena
semalam saya tidak memimpikan apapun. Maafkan saya, mereka yang mau.
Silahkan saja lihat mereka bercerita. Kalau berkenan.
Lutut
"Hei, lututmu
berwarna!"
"Ya, lututmu
pun bernasib sama. Terpeleset di kamar mandi juga?"
"Ya, eh tidak
juga. Terbentur sudut luar kamar mandi, tepatnya. Nyeri sekali."
"Sudah kau
obati?"
"Belum. Kau
sendiri?"
"Tidak
kuapa-apakan. Nanti juga hilang sendirinya. "
"Ya, benar.
Lagipula aku suka warnanya. "
---
Ibu
"Aku punya
hadiah kecil buatmu."
" Apa ini? Oh
ya ampun!"
"Bawalah, aku
sudah selesai. Kau boleh membacanya
nanti. "
"Film-nya sudah
pernah nonton? Kemarin kucari di
youtube, film-nya belum ada."
"Belum pernah.
Hei, jangan dibaca sekarang, nanti saja di rumah."
"Kenapa?"
"Kalau baca
sekarang, kapan selesainya?"
"Oke,
baiklah. Judul buku ini diambil dari
nama biang roti ya? Apa benar-benar ada?"
"Bukan, tapi
diambil dari bahasa spanyol. Artinya Ibu."
---
Gantian!
"Cepatlah
nona!"
"Sebentar, aku
baru mau mencukur rambut kakiku!"
"Jangan pakai
pisau cukurku!"
"Tapi punyaku
sudah tumpul."
"Tapi aku tidak
punya pencukur lagi."
"Ayolah, tuan.
Kasihani kakiku."
"Memangnya kau
tidak kasihan pada wajahku? Aku bisa terlihat seperti Mark Ruffalo kalau begini
terus."
"Mark Ruffalo
keren, kok. Serius!"
"Tidak mau.
Kalau begitu aku pakai duluan. Kau mandi sana!"
"Tidak. Ladies
first, ingat?"
"Jangan
diskriminatif, aku duluan!"
"Aku
dulu!"
"Aku
dulu!"
Minggu, tanggal
merah yang kuhitamkan. Empat atau lima kali.
Sesekali aku datang.
Menduduki batuan pantai. Sedikit bercerita dan menanyakan kabarmu pada senja.
Tapi ia diam saja. Rupanya ia memilih jadi pendengar yang baik.
Minggu, setelah
berminggu-minggu tak kutandai , tanggal merah kubiarkan marah pada takdir.
Aku datang lagi. Ia bersenandung kecil.
Sementara aku berjalan menuju bebatuan besar yang bisa kududuki. Dan aku duduk
dibelakang punggung seseorang. Pria yang berbau kayumanis. Sepertinya pria ini menyukai
senja, atau pantai. Mungkin juga keduanya.
"Halo, apa
kabar?" tanyanya.
"Kabar baik,
setidaknya aku mendengar kau bicara. Kau sendiri apa kabar?" balasku.
"Tanyakan
padanya." Ia menunjuk pria berbau kayumanis di depanku.
"Tanya
apa?"
"Tanya saja
kabarnya, bukankah kau selalu ingin tahu kabarnya?" jawabnya. Apa maksudnya?
"Senja, kau
kenal pria wangi kayumanis ini?" tanyaku.
Senja tak lagi mendengarkan, ia sibuk menari
dengan langit, gaunnya yang jingga melambai ditiup angin. Mungkinkah pria kayumanis ini adalah
"dia"? Tapi sepertinya bukan. Pria ini lebih kurus. Mungkin Ia salah orang.
"Permisi, tuan.
Boleh saya bertanya?" Pria kayumanis itu agak terkejut. Sepertinya aku
mengganggu.
"Tentu saja,. " Ia membalikkan badan. Dia terkejut.
Aku lebih terkejut. Hening sebentar. Mata itu.. Masih
sama.
"Ng.. Apa kabar, tuan?" Dia tak menjawab. Dia bangkit dari duduknya.
"bolehkah
aku minta sebuah pelukan?" Tanyaku lagi.
"Sudahlah. Seharusnya kau membenciku."Jawabnya, sarkas.
"Bisakah
kita berteman?"
"Tidak, nona.
Kita tidak akan bisa jadi teman. Bencilah aku, nona. Kumohon." Dan Ia
beranjak pergi.
Senja masih disana,
memandangi kami dari langit. Ia berhenti menari. Diiringi desau angin dan ombak yang menyarukan laraku. Aku dan senja bersenandung.
Dia
datang saat hujan reda
Semerbak
merekah namun sederhana
Dia
bertingkah tiada bercela
Siapa
kuasa?
Dia menunggu hingga ku jatuh
Dia menunggu hingga ku jatuh
Terbawa
suasana
Dia
menghibur saat ku rapuh
Siapa
kuasa?
Dan
kawan bawaku tersesat ke antah berantah
Tersaru
antara nikmat atau lara
Berpeganglah
erat
Bersiap
terhempas ke tanda tanya
Dia
bagai suara hangat senja
Senandung
tanpa kata
Dia
mengaburkan gelap rindu
Siapa
kuasa?
(Banda Neira - Ke Entah Berantah)