Angin
yang kau peluk semalam, baru saja mengetuk jendela kamarku.
Lancang berbisik di telingaku yang makin dingin: "Rindu kamu. Rindu kamu. Rindu... Kamu.." lalu angin pergi, menjejakkan lengang yang panjang.
Esok aku akan terlupa, semudah kau berkedip.
Dan kau akan terus menyeruput kopi,
menerka mana yang lebih pahit.
Kelak, rindu akan menjelma jadi pohon, hujan, angin, bahkan kau.
Atau ingatan tentang lentik matamu dari samping, atau hembus nafas di tengkukku?
Masihkah aku peduli?
Aku tak pandai menulis sajak, tentang rindu yang sembarangan, atau senja yang selalu menghitung mundur. Sungguh. Tandai itu.. Aku dan sisa-sisa kenangan yang barangkali masih kauingat.
Lancang berbisik di telingaku yang makin dingin: "Rindu kamu. Rindu kamu. Rindu... Kamu.." lalu angin pergi, menjejakkan lengang yang panjang.
Esok aku akan terlupa, semudah kau berkedip.
Dan kau akan terus menyeruput kopi,
menerka mana yang lebih pahit.
Kelak, rindu akan menjelma jadi pohon, hujan, angin, bahkan kau.
Atau ingatan tentang lentik matamu dari samping, atau hembus nafas di tengkukku?
Masihkah aku peduli?
Aku tak pandai menulis sajak, tentang rindu yang sembarangan, atau senja yang selalu menghitung mundur. Sungguh. Tandai itu.. Aku dan sisa-sisa kenangan yang barangkali masih kauingat.